rubrik aqidah -TAKDIR- buletin asy syifa edisi april 2011

Memahami Takdir

Takdir, seperti kita ketahui bersama takdir adalah salah satu perkara dalam rukun Iman. Banyak sekali pertanyaan mengenai hal ini, terutama pemahaman mengenai takdir itu sendiri. Dewasa ini, ada tiga pemahaman yang berkembang dan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dalam rubrik aqidah tersirat harapan kami akan lurusnya keyakinan Anda mengenai konsep takdir.

!


Pemahaman pertama adalah mereka yang memaknai takdir bahwa manusia tidak diberi kebebasan bergerak sedikit pun oleh Allah. Semua yang dilakukan manusia sudah ditentukan oleh Allah. Untuk pemahaman pertama bisa kita analogikan bahwa manusia disamakan dengan wayang. Adakah wayang yang bisa bergerak sesuai dengan kemauannya sendiri? Tentu tidak. Ya, wayang hanya bergerak sesuai dengan keinginan dalangnya. Mau bergerak ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah, bahkan jungkir balik pun diatur oleh dalang. Hal ini tentunya sangat wajar terjadi pada wayang, karena ia hanya benda mati yang tidak mempunyai akal.
Kondisi berbeda terkait kehidupan manusia. Apakah keadaan pada wayang juga wajar bila terjadi pada manusia, sementara manusia sendiri telah dibekali akal? Bila jawabannya adalah wajar, maka untuk apakah sebenarnya manusia dibekali akal. Dapat dipastikan dalam keadaan pasrah akan banyak sekali orang malas bertebaran di muka bumi ini. Saat pemahaman pertama ini diimani oleh kebanyakan manusia, manusia akan cenderung bermalas-malasan dan tidak punya motivasi. Orang dengan tipe ini akan beranggapan bahwa semua usaha akan berakhir sia-sia karena apapun dilakukan hasilnya akan mentok dengan takdir.

Selain efek buruk malas dan hilangnya motivasi, pemahaman di atas juga dapat mencederai aqidah dari penganutnya. Di dunia ini, terdapat 3 tipe manusia yaitu manusia yang beriman, munafik, dan kafir. Bila mengimani pemahaman di atas, dengan demikian Allah-lah yang menjadikan seseorang itu beriman, munafik maupun kafir. Apabila seperti ini, dapat dikatakan Allah itu pilih kasih dan berbuat dzalim terhadap hambanya. Bukankah ganjaran bagi orang beriman itu surga? Dan bagi orang yang munafik atau kafir itu neraka? Mengapa tidak semua orang dijadikan beriman saja? Mengapa ada yang ditakdirkan menjadi seorang munafik atau kafir? Beruntunglah dengan orang-orang yang ditakdirkan menjadi orang beriman dan rugilah orang-orang yang ditakdirkan menjadi orang munafik maupun kafir.

Seperti kita tahu, mustahil Allah itu bersifat pilih kasih bahkan berbuat dzalim. Karena hal itu akan bertentangan dengan sifat Allah Yang Maha Adil. Hal ini juga akan menyebabkan ke Maha Sempurnaan-Nya menjadi cacat. Apakah mungkin Dzat yang menciptakan jagat raya dan seisinya ini memiliki sifat cacat? Tentu saja tidak. Bagaimana mungkin Dzat itu akan menciptakan, menjaga, mengatur, serta melindungi ciptaannya sementara Ia berada dalam keadaan yang cacat? Untuk itu, simaklah Firman Allah berikut agar kita paham bahwa pemahaman takdir yang pertama ini salah.

Kalau kamu melihat ketika Para Malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata): "Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar", (tentulah kamu akan merasa ngeri). Demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak Menganiaya hamba-Nya. {Q.S. Al-Anfal (8) : 50-51}

Seandainya kita mengambil dan mengikuti pendapat golongan yang pertama, yaitu mereka yang ekstrim dalam menetapkan qadar, niscaya sia-sia lah syari’at ini dari tujuan semula. Sebab bila dikatakan bahwa manusia tidak mempunyai kehendak dalam perbuatannya, berarti tidak perlu dipuji atas perbuatannya yang terpuji dan tidak perlu dicela atas perbuatannya yang tercela. Karena pada hakikatnya perbuatan tersebut dilakukan tanpa kehendak dan keinginan darinya.
“Janganlah kamu bertengkar di hadapan-Ku, padahal sesungguhnya Aku dahulu telah memberikan ancaman kepadamu. Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah, dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku" (Qaaf : 28- 29).
Dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan bahwa siksaan dari-Nya itu adalah karena keadilan-Nya, dan
sama sekali Dia tidak zhalim terhadap hamba-hamba-Nya. Sebab Allah SWT telah memberikan peringatan dan ancaman kepada mereka, telah menjelaskan jalan kebenaran dan jalan kesesatan bagi mereka, akan tetapi mereka memilih jalan kesesatan, maka mereka tidak akan memiliki alasan di hadapan Allah SWT untuk membantah keputusan-Nya.

Pemahaman yang kedua yaitu menganggap bahwa segala aktifitas yang ada hanyalah hasil kreasi manusia itu sendiri tanpa ada sedikitpun campur tangan dari Sang Khalik. Benarkah demikian? Allah memang memberikan kita kebebasan untuk berbuat. Namun bukan berarti kebebasan yang tanpa batas. Bayangkanlah bila semua yang dilakukan benar-benar murni kreasi manusia, maka akan banyak sekali Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang yang bertebaran. Hal ini disebabkan kesombongan yang akan muncul akibat pemikiran bahwa ‘aku sukses karena usahaku sendiri’. Dengan demikian akan semakin banyak manusia yang melupakan Tuhannya. Mereka yang menganut pendapat ini sebenarnya telah mengingkari salah satu dari rububiyah Allah, dan

berprasangka bahwa ada dalam kerajaan Allah ini apa yang tidak dikehendaki dan tidak diciptakan-Nya. Padahal Allah lah yang menghendaki segala sesuatu, menciptakannya dan menentukan qadar (takdir)nya. Sekarang kalau semuanya kembali kepada kehendak Allah dan segalanya berada di Tangan Allah, lalu apakah jalan dan upaya yang akan ditempuh seseorang apabila dia telah ditakdirkan Allah tersesat dan tidak dapat petunjuk?

Jawabnya: bahwa Allah SWT menunjuki orang-orang yang patut mendapat petunjuk dan menyesatkan orang-orang yang patut menjadi sesat.
Firman Allah: “Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran) Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik” .(Ash Shaf: 5).
Sama halnya dengan pemahaman pertama, pemahaman ini akan mengikis aqidah dari penganutnya.

Ketiga adalah pemahaman yang menyatakan bahwa apa pun yang kita lakukan semuanya ada dalam aturan-aturan Allah, ada campur tangan Allah, tapi kita pun memiliki pilihan untuk melakukan sesuatu. Pemahaman ini dapat menjelaskan mengenai perihal “Mengapa saat kita sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi tetap saja belum mendapatkan hasilnya?”. Pemahaman ini juga yang dapat menjelaskan mengapa manusia dibekali akal. Ya, dengan akal-lah kita dapat membedakan antara yang haq dan yang batil, sehingga akal membuat kita memilih jalan hidup kita masing-masing. Allah berfirman :
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. {Q.S. Asy-Syams (91) : 8 - 10}.

Mereka adalah orang-orang yang beriman, sehingga diberi petunjuk oleh Allah SWT untuk menemukan kebenaran yang telah diperselisihkan. Mereka itu adalah Ahlussunnah Wal Jamaah. Dalam masalah ini mereka menempuh jalan tengah dengan berpijak di atas dalil syar’i dan dalil aqli. Mereka berpendapat bahwa perbuatan yang dijadikan Allah SWT di alam semesta ini terbagi atas dua macam:

1- Perbuatan yang dilakukan oleh Allah SWT terhadap makhluk-Nya. Dalam hal ini tak ada kekuasaan dan pilihan bagi siapapun. Seperti turunnya hujan, tumbuhnya tanaman, kehidupan, kematian, sakit, sehat dan banyak contoh lainnya yang dapat disaksikan pada makhluk Allah SWT. Hal seperti ini, tentu saja tak ada kekuasaan dan kehendak bagi siapapun kecuali Allah SWT yang maha Esa dan kuasa.
2- Perbuatan yang dilakukan oleh semua makhluk yang mempunyai kehendak. Perbuatan ini terjadi atas dasar keinginan dan kemauan pelakunya; karena Allah SWT menjadikannya untuk mereka.
Sebagaimana firman Allah Y:
“Bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus” . (At Takwir: 28)
“Di antara kamu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki
akhirat” .( Ali Imran: 152).
“Maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir “ ( Al Kahfi: 29).

Selain ketiga pemahaman di atas, ada pula pandangan umum mengenai takdir yaitu adanya takdir mubram (tidak bisa berubah) dan takdir mu’allaq (masih bisa berubah). Memang benar adanya bahwa ada beberapa takdir yang tidak bisa diubah, sebagai misal kita terlahir sebagai seorang laki-laki atau perempuan. Adakah di antara kita yang sebelum dilahirkan memesan terlebih dahulu mau jenis kelamin apa pada Allah? Tentu tidak. Selain itu ada pula takdir yang bisa berubah, yaitu rejeki. Rejeki itu sangat tergantung pada usaha yang dilakukan oleh seseorang. Allah berfirman dalam Q.S.Ar-R’ad (13) ayat yang ke-11,
…, Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan* yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
* Allah tidak akan merubah keadaan mereka, selama mereka tidak merubah sebab-sebab kemunduran mereka.

Dari ayat di atas dapat kita pahami bahwa takdir itu dapat dirubah. Karena semua ketentuan Allah tergantung pada Kehendak-Nya.
Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh). {Q.S. Ar-R’ad (13) : 39}

Lalu bagaimanakah cara kita agar dapat merubah takdir itu sendiri? Karena ketentuan takdir itu menurut kehendak-Nya, maka yang perlu kita lakukan adalah mendapatkan ridho Allah pada keinginan-keinginan yang kita punyai. Bagaimanakah cara agar kita dapat meraih ridho-Nya? Pada Q.S. Ar-R’ad ayat yang ke-11, telah dijelaskan bahwa Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sebelum mereka mau mengubahnya sendiri. Ayat ini ingin menerangkan pada kita bahwa agar dapat merubah nasib, yang diperlukan adalah ikhtiar dengan sebuah proses yang benar. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi tetap saja tidak dapat merubah nasibnya? Marilah kita simak ayat berikut ini,
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku* akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina". {Q.S. Al-Mu’min (40) : 60}
* Yang dimaksud dengan menyembah-Ku di sini ialah berdoa kepada-Ku.
Adapun doa seorang hamba untuk merubah takdir adalah untuk dihindarkan dari takdir buruk. Karena Allah hanya mensyariatkan kepada kita untuk memohon kepada Allah merubah ketetapan-Nya, bila mengandung keburukan. Oleh sebab itu Imam Al-Bukhari menulis satu bab dalam Shahihnya, bab: Orang yang meminta perlindungan kepada Allah dari kecelakaan, dari takdir yang buruk; dan firman Allah:
"Katakanlah: aku berlindung kepada Allah dari kejahatan ciptaan-Nya.." (Al-Falaq : 1-2).
Kemudian beliau menyitir sabda Nabi Shallalallahu 'alaihi wa sallam: "Mohonlah perlindungan kepada Allah dari bencana yang berat, dari kecelakaan, dari takdir yang buruk." Kitabul Qadar VII : 215)

Perlu diketahui, ternyata ikhtiar saja tidak cukup untuk mengubah takdir. Ikhtiar perlu dibarengi dengan bertawakal kepada Allah. Keduanya tidak bisa dipisahkan dalam meraih ridho Ilahi. Maka dari itu, mari kita berusaha semaksimal mungkin dan jangan lupa pula untuk berdo’a. Selama nafas masih melekat di tubuh kita, maka selama itu pula ketentuan Allah terhadap diri kita masih bisa diubah. Ingat! Tiada kata terlambat untuk memulai suatu kebaikan. Wallahua’lam bishshowab.

Maroji’:
1. Al Qadha wal Qadar - Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin
2. www.mind.donnyreza.net
3. www.motivasi-islami.com

download artikel format pdf :



0 komentar:

Posting Komentar

Tafadhol antum / antunna mengkomentari posting di atas. Syukron.